Tuesday, January 27, 2009

surat untuk seorang sahabatku...




Teruntuk
Temanku...Sahabatku...yg baik
di sana



Semoga kabarmu baik-baik saja di sana.
Aku sudah membaca e-mailmu.
Aku juga sudah membaca pesan offline di ym.


Temanku...Sahabatku...
Aku tau beban yang akan dirimu pikul tidak bisa dibilang ringan.
Tapi aku juga tau kalau dirimu pasti sanggup membawa beban itu.
Sanggup mengemban amanah yang akan diberikan kepadamu.


Tentang adil,
Aku yakin dirimu pasti bisa.
Bukankah adil sama dengan membuat mereka bahagia?
Dan bukankah membuat orang di sekitarmu bahagia adalah selalu menjadi keinginanmu?


Tetaplah menjadi seorang dirimu yang selalu optimis.
Yang selalu bisa menggores warna cerah di angkasa,
ceria di setiap waktumu dan
selalu terlihat bersemangat di tiap langkahmu.


Walau aku belum pernah merasakan sepertimu,
aku bisa merasakan bagaimana rasa dan pikirmu
memaknai setiap kisah yang ada menghias hari-harimu.
Dan aku juga berterimakasih telah kau ajak berbagi.
Kisahmu adalah bekal ilmu untukku.


Semoga dirimu disana bisa dan mampu menjadi kuat,
hebat dan bijak.
Dan amanah yang akan diberikan padamu, bisa membuat dirimu adil.
Yang bisa seperti matahari, yang menyinari semesta.
Seperti air yang, yang bisa melepas dahaga musafir.

Cheers........

hai......masa depan!



Apakah harapan setiap orang adalah senantiasa dihembusi angin sepoi-sepoi ???
Digelitik pijatan kasmaran sang kekasih ???
Dihiasi peluh emas hasil kerja otot tembaga ???
Yang setiap saat dideru semangat pengabdian ???

Tahukah Anda ???
Kenapa tikus yang ukurannya sedikit lebih besar
Membuat orang yang melihatnya refleks histeris “tikus besssaaaaaaarrrrr”
Kok kerbau yang lebih besar tidak mendapat respon sedemikian ???
Ataupun gajah yang jelas-jelas jauh lebih besar darinya ???

Aku yakin Anda tahu jawabannya ... ???

Mungkin begitupula rasa yang dirasakan ikan terhadap air
Udara bagi manusia
Tanah bagi tanaman

Menggigil tubuh tak berdaya di hadapan sang amanah yang harus diemban
Sesuatu yang mungkin akan ditakdirkan

Terbayang beratnya gunung yang harus dipikul
Dalamnya lautan yang harus dikuras
Tingginya bintang yang harus diraih
Dan luasnya kanvas langit yang harus dilukis

Kuasakah dia yang nista tak berdaya memikul bakul kehidupannya ???

Setiap orang tentu dibekali bakat dan kemampuan
Untuk menjalani takdirnya hidup di dunia ini
Begitupula dia
Begitupula Anda dan saya
Tetapi tetap saja tanya silih berganti menghiasi ruang pikir dan rasanya
Tanya ... kemudian tanya lagi ... kemudian tanya lagi ... begitulah seterusnya
Begitulah adanya dan adanya hanya itu saat ini

Hai masa depan
Sudikah dikau menampakkan wajah tersungging senyum suatu saat kelak ???
Yang mampu melemaskan otot yang lunglai
Yang bergantungan pada tiang-tiang tulang renta
Termakan usia
Diantara pengabdian yang mungkin pula ditakutinya tak semuanya amanah

Hai masa depan
Jika memang takdirnya sampai disetiap petak masamu
Yakinkanlah dia sekarang akan jembatan waktu terkokoh dan terindah
Berjaring otot kawat besi tembaga sebagai pengaitnya
Berhiaskan emas, berlian dan air surgawi yang mengalir dibawahnya
Yang kau miliki dan dimilikinya

Untuk membuatnya mampu membuatmu tersenyum kelak



(sekali lagi ini tulisan Bapak Boss, aku bisa memahami koq... Semoga dirimu bisa menjadi panutan orang-orang di sekitarmu :))

Monday, January 26, 2009

di suatu sore



Gerimis menghias kota ini (di beberapa waktu yang lalu).
Kutelusuri jalan di kota, mencari sesuatu yang bisa membuat saya terhibur dan memang sengaja saya buru, yaitu…..buku.
Hehehe…

Kota ini mendadak dingin, kualihkan pandangan dari depan tempat yang memang biasa saya kunjungi selain toko buku.

Alun-alun kota ini tetap meriah, banyak muda mudi tetap asyik menikmati waktu, penjual jagung bakar, balon, es, bakso, tahu sumedang, para pengamen, pengemis bahkan topeng monyet pun ada di sana. Tukang parkir pun sibuk mengatur kendaraan yang hendak diparkir di sana. Terlihat beberapa bus pariwisata ada di sana.
Ramai!!!

Pohon beringin besar di pinggir alun-alun itu menjadi naungan sebagian orang yang duduk di bawahnya. Kanopinya cukup mampu menahan gerimis yang memang tidak terlalu lebat. Kulihat di tengah alun-alun, anak-anak kecil berlarian dengan celoteh cerianya, ada pula yang merengek-rengek minta sesuatu pada orang tuanya.

Di Masjid Agung pun terlihat telah cukup ramai. Mereka terlihat bercengkerama di pelataran dan bagian depan masjid.

Sebentar lagi senja…, mall-mall pun tampak gemerlap dari tempat saya menikmati semua itu.

Sepertinya setiap orang sedang mengukir cerita saat itu. Ada yang tersenyum, ada yang cemberut, ada yang tertawa lepas bahkan ada yang pasang tampang datar-datar saja :)
Sambil tetap kupandangi mereka semua, saya pun mengalirkan daya dan ekspresi mereka di sini.

Sore itu begitu sejuk, setelah sesiang tadi matahari menyapa kota ini dengan teriknya. Di sebelah bilik saya terdengar suara seseorang , mungkin dia sedang mengobrol dengan teman on line-nya.

Seseorang baru masuk hendak menjadi user, melewati saya, sekilas dia memandang saya. Bertepatan dengan saya yang juga sedang mengangkat wajah dari keyboard dan monitor.
Tersenyum…, biasalah…ramah dan basa basi walaupun saya tidak mengenalnya.
Semua saya nikmati.

Seorang pegawai tempat dimana saya berada menghampiri saya, menawari sesuatu kepada saya…, tapi saya sedang tidak berminat untuk mengisi perut saya. Dia pun berlalu menuju bilik sebelah. Mungkin melakukan hal yang sama.

Saya sengaja berada di situ, sambil menunggu adzan.
Nampak pula jejeran angkot yang sedang menunggu penumpang, halte kecil itu juga nampak ramai. Mungkin para sopir angkot dan makelar yang membuatnya semarak.

Tiba-tiba saja, saya teringat dia……
Hehehe….
Apapun saya nikmati saat itu, kalau memang sedang ingin memandangi pemandangan di luar sana, saya akan melakukannya. Kalaupun saya ingin berandai-andai, saya pun siap mengkhayal :) (siapa yang bisa melarang???).

Sampai adzan pun terdengar…
Saya tutup semua situs yang sudah saya buka dan saya akan menuju tengah ruangan ini membayar biaya on line saya. Menuju musholla mall di seberang karena saya lebih suka melakukan ibadah di sana. Dan menembus gerimis ke tempat favorit saya….toko buku.
Dan….
Memulai menikmati sesuatu yang lain, yang baru di sana.
Juga….
Berburu…bacaan :)

DUA KEPING HATI (cerpen)



Aldi

Aku mengenalnya baru saja, ketika magang di perusahaan tempatnya bekerja. Mbak Ela, begitu orang-orang di kantor dan pabrik memanggilnya. Pertama aku bertemu dengannya aku sudah bisa langsung menilai sosok Mbak Ela ini ramah, cerdas dan rendah hati. Tidak terlihat ataupun terkesan sombong serta memintari orang walaupun dia sedang mengajariku hal-hal yang perlu aku ketahui di pabrik dan juga birokrasi di perusahaan tersebut. Senyum manisnya selalu menghiasi bibirnya begitu memasuki areal perusahaan. Menyapa dan menjawab sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya. Sama sekali tak terlihat bahwa dia adalah General Manager Assistant. Satu minggu sudah aku magang di situ, aku semakin tahu dia seorang yang mandiri, tangkas dan lugas. Pantas saja karirnya begitu bagus.

Obrolan pertama kami di ruangannya. Kebetulan komputernya sedang ngadat sehingga aku dimintai tolong olehnya karena bagian IT sedang sibuk merombak program.

“Waduh kalau soal begini saya nggak ngerti. Gaptek. Jadi sering ngrepoti yang lebih tahu,” terdengar suaranya sambil diiringi tawa.

“Nggak apa-apa kok, Mbak. Kebetulan saya bisa,” terangku formal dengan mengganti kata “aku” menjadi “saya”.

“Enak kali ya kalau bisa ngotak-ngatik barang elektronik terutama ini nih, komputer? Jadi kalo ngadat nggak perlu nyusahin orang. Eh, kamu kuliah jurusan apa?”

“Mesin.”

“Mesin? Tapi yang tahu dan bisa elektro. Ya…yang seperti ini yang dibutuhkan perusahaan. Formalnya sih satu bidang tapi prakteknya semua bisa. Tinggal satu semester lagi kan? Habis itu masukin lamaran saja kesini. Siapa tahu Personal Manager tertarik. Yach…nanti saya bantu dikit-dikit,” tawarnya tulus.

“Wah…terimakasih sebelumnya, Mbak. Iya, memang mencari pekerjaan saat ini susah. Banyak sarjana yang menganggur. Mudah-mudahan saya bisa langsung dapat kerja. Kasihan orang tua yang sudah susah payah banting tulang agar saya bisa kuliah,” begitu jawabku sambil memberesi kabel-kabel.

“Bagus. Saya suka dengan pemikiran seperti itu. Jarang ada anak yang punya pikiran balas budi ke orang tua.

Obrolan kami berlanjut, obrolan ringan yang menjadi awal bagaimana aku mengagumi sosok Ela ini. Kalau sedang berkhayal, aku berani menyebutnya tanpa embel-embel “Mbak”. Pernah sesekali ketika Ela sedang mendampingi Pak Ardi, General Manager itu ke pabrik, aku berkali-kali mencuri pandang padanya. Sosoknya anggun tapi tidak merasa risih berbaur dengan karyawan bahkan sesekali dia mengikuti proses produksi. Sebenarnya sekarang aku sedang dalam proses menyelesaikan tugas akhir. Banyak waktu senggang, mata kuliahku sudah habis jadi iseng-iseng kutulis lamaran magang ke beberapa perusahaan. Sampai akhirnya di perusahaan ini, PT. Atlantic Jaya yang bergerak di bidang consumer good, produk makanan instant ini aku diterima magang. Karena bidangku engineering, maka aku sering berada di dalam pabrik mengecek mesin-mesin.

Dalam beberapa kali kesempatan aku sering berhubungan langsung dengan Ela. Contohnya ya…seperti waktu komputer di ruangannya rusak itu. Pernah juga saat hendak pulang mobilnya ngadat, mogok. Karena aku berada di dekat situ, kutawarkan jasa untuk memperbaikinya. Dan Alhamdulillah, bisa. Duh…senangnya, apalagi setelah itu dia mengantarku pulang ke kost.

Ela

Kenapa aku terus memikirkannya? Tak ada yang istimewa pada sosoknya. Dia hanya mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan magang di tempatku bekerja. Namun, harus kuakui kalau dia termasuk mahasiswa yang cerdas. Dia cepat belajar, sehingga mudah menguasai mesin-mesin di pabrik. Tak jarang para engineering di pabrik berdecak kagum padanya, ketika harus mengakali mesin yang rusak. Terkadang saat aku ke pabrik kulihat dia terlibat diskusi seru dengan para teknisi pabrik.

Aldi, dari segi fisik sih lumayan. Hatinya aku kira juga baik. Kalau tidak, mana mungkin dia mau mengotak-atik mobilku yang kemarin tiba-tiba mogok? Padahal saat itu hari sudah hampir petang, aku yakin dia lelah sekali karena hari itu ada dua mesin yang harus dibongkar untuk perawatan rutin. Toh, dengan senyum khasnya dia menghampiriku dan menawarkan bantuan. Sebagai imbalannya, aku mengantarkan dia pulang ke kost-nya yang kebetulan searah dengan rumahku.

Sosoknya telah mencemari pikiranku seminggu belakangan ini. Membuatku lebih bersemangat saat berangkat kerja. Tapi membuatku malas untuk membalas sms-sms dari Tio. Ya, Tio. Dia kekasihku, kekasih yang…entahlah. Tiba-tiba Manajer IT rekanan perusahaan tempatku bekerja ini menjalin hubungan khusus denganku. Terus terang saat itu, pada waktu pulang setelah launching produk kami yang terbaru dia menghampiriku. Menawarkan jasa untuk mengantarku pulang. Seminggu setelahnya dia intens menghubungiku baik di rumah atau di kantor. Dan suatu malam di teras rumahku.

“La, jalan yuk!” ajak Tio.

“Aduh, sorry banget lagi capek nih. Lain kali aja ya,” tolakku halus.
Dia tersenyum, “Nggak apa-apa kok. It’s ok.”

Kemudian dengan sedikit gerakan saja tanganku sudah di genggamnya.

“Ela, kamu mau jadi kekasihku?” tanyanya serta merta.

Duh..Gusti, aku kaget. Tapi aku harus berani.

“Tio, aku tahu kamu sudah baik banget sama aku. Tapi untuk menjadi kekasihmu, rasanya aku belum bisa,” jawabku tetap berusaha tenang.

Ternyata penolakanku malam itu tak membuatnya mundur. Tio semakin mendekat dan tetap menjaga hubungan baik kami. Mama dan Papa yang sudah tahu ceritanya, mendesakku untuk bersedia menjadi kekasihnya. “Kurang apa sih si Tio itu? Sudah mapan, sabar, ganteng, dan bla…bla…bla”, itu pasti menjadi topik yang menarik untuk membuatku kalah. Sampai akhirnya aku benar-benar kalah!

Bukannya pilih-pilih, tapi ini masalah hati. Dulu sewaktu kuliah aku telah menjatuhkan pilihan pada teman lelakiku di kampus. Andika, namanya. Tapi ternyata waktu tak berpihak pada kami. Dia harus menerima pertunangannya dengan anak dari saudara jauhnya, walau sebelumnya dia sudah memperjuangkan aku. Dan akhirnya, kami menjadi korban. Aku terluka. Sangat!

Sampai akhirnya Tio kuterima menjadi kekasihku (sekali lagi karena orang tuaku). Tio cukup setia dan dia diterima oleh keluargaku. Di mata keluargaku, he’s perfect. Oh…no! Kepalaku pusing. Bayangan Tio dan Aldi bergantian melintas di pikiranku. Ya Tuhan, ampuni aku! Tiga hari yang lalu Tio mengatakan ingin meminangku, mungkin bisa bertunangan dulu katanya.

Aku tidak ingin menikah (yang didahului dengan pertunangan atau apapun namanya…) dengan seseorang karena alasan disuruh, tidak ada pilihan lain atau karena perempuan-perempuan yang lebih muda dariku telah menikah. Ini adalah pilihan, karena menyangkut bahagia dan tidak serta hidupku kelak. Ah…semoga aku tak melukai banyak pihak nantinya.

Aldi

Hari ini wajah Ela murung, begitu kulihat dia turun dari mobilnya. Aku ingin sekali menghampirinya, tapi itu tidak etis. Dan kubiarkan sosoknya melangkah anggun menuju gedung depan, dimana ruangan kerjanya berada. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh sampai sosoknya menghilang di balik pintu. Ada apa dengan Ela?

Jam istirahat, aku menuju kantin. Kantin ini bersih dan rapi. Jadi pantas jika “orang-orang atas” yang malas keluar memilih makan siang di sini. Biasanya Ela duduk di meja pojok dekat jendela itu bersama Mbak Rina dan Bu Santi. Tapi siang ini, aku hanya melihat mereka berdua, tanpa Ela. Aku ingin bertanya, tapi sekali lagi itu tidak etis.

Aku ingin menghubunginya lewat ponsel. Namun kuurungkan niatku, takut tidak berkenan. Kunikmati makan siangku tanpa selera. Teman-teman teknisi mulai menggoda melihatku lesu. “Lu kenapa, Di? Lesu amat, mau dikawinkan ya sama emakmu?’ celetuk Bang Fandi. Aku hanya tersenyum, tak menanggapi.

Sore hari, setelah jam kerja usai aku segera pulang. Aku melewati parkiran. Kulihat Visto merah Ela masih terpakir. Hmm…belum pulang rupanya dia. Saat melintas di dekatnya, kaca jendela depan diturunkan. Ternyata Ela ada di dalamnya.

“Al…,” panggilnya pelan.

Kuhampiri Ela sambil ber”say good bye” dengan orang-orang pabrik yang melintas di situ.

“Iya, Mbak. Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir. Kulihat wajahnya agak pucat dan lesu.

“Bisa antar saya pulang? Saya sedang kurang enak badan.”

“Bisa, Mbak. Tapi saya tidak punya SIM,” jawabku sedikit ragu.

“Nggak apa-apa. Jalan Karya nomor 8, kamu tau kan? Nih…” aku mengangguk dan Ela mengangsurkan kunci mobilnya dan menggeser duduknya ke kiri.

Begitu aku masuk ke dalam mobilnya, Ela langsung menyandarkan kepalanya ke jok. Seperti ada yang dipikirkan. Dengan hati-hati aku bertanya padanya.

“Mbak Ela nggak apa-apa?”

Ela tersenyum, sambil menggeleng. Dia pun memejamkan matanya. Aku pun tak berani mengganggunya lagi. Sampai akhirnya mobil ini tiba di depan rumahnya. Setengah jam perjalanan, cukup lama. Aku menoleh ke kiri, kulihat Ela benar-benar tertidur. Kasihan, mungkin dia benar-benar capek dan sedang tidak enak badan. Kusentuh bahunya pelan. Ela membuka matanya.

“Sudah sampai ya? Aduh , sorry ya aku ketiduran? Sekali lagi makasih sudah mau direpoti,” katanya sambil mengubah posisi duduknya. Kulihat dia lebih rileks tak lagi ber-“saya”.

“Nggak repot kok, Mbak. Kostan saya kan searah. Ini kuncinya, Mbak,” kuangsurkan kunci Vistonya.

“Aku antar ke kost kamu, yuk!” ajaknya.

Aku tertawa.

“Lho, gimana sih? Ntar malah kayak setrikaan. Lagian Mbak Ela kan sedang nggak enak badan. Nggak apa-apa kok. Mbak istirahat saja, biar saya naik angkot,” ujarku sambil membuka pintu mobil.

“Ya sudah kalo begitu. Sekali lagi terimakasih banyak. Dan jangan kapok!” katanya.

“Nggak-lah. Ok, saya pamit dulu. Semoga Mbak Ela cepat baikan,” kuulurkan tangan untuk menjabat tangannya.

Disambutnya uluran tanganku. “Nggak mau mampir dulu nih?” tawarnya.

“Lain kali saja. Sudah terlalu sore. Lagian Mbak Ela perlu istirahat. Mari, Mbak!” pamitku.

“Ok, hati-hati ya!” pesannya sambil melambaikan tangan.

Wow, sore yang indah! Membuatku lebih bersemangat. Satu mobil dengan Ela, siapa yang tidak iri? Aku yakin orang-orang di pabrik yang tadi melihatku pasti melirik iri. Tapi aku nggak boleh GR, karena sempat kulihat BMW seri terbaru di halaman rumahnya dan ada seorang pria muda yang berdiri mengawasi kami dari teras. Apa mungkin dia kekasih Ela? Ah…semoga bukan!

Ela

Jam di dinding menunjuk angka 23:20 menit. Kepalaku masih terasa berat, tapi sudah sedikit berkurang dibanding tadi sore. Aku mencoba duduk di tempat tidur sambil bersandar di dinding, sambil melayangkan pikir dari kejadian tadi sore.

Aku bertengkar hebat dengan Tio. Hanya karena dia melihatku diantar pulang oleh Aldi. Apa salahnya coba? Dia sempat tertawa sinis, sewaktu aku bilang Aldi seorang mahasiswa tingkat akhir yang kebetulan magang di tempatku bekerja. Tio dengan arogan malah bertanya, kenapa aku tidak memintanya untuk menjemputku kalau memang aku merasa tidak enak badan? Ya…karena aku tidak ingin dia menjemputku :( . Benar-benar menyebalkan! Aku tidak ingin bertemu dengannya hari ini, tapi dia malah datang ke rumah. Sok bersikap manis pula di depan Mama, mau mengantarku ke dokter. Siapa yang mau ke dokter, apalagi diantarkannya? Bisa tambah parah sakitku. Dasar lagi ada maunya!

Untung kondisi badanku bisa kujadikan alasan untuk segera masuk kamar. Jadi aku tidak perlu berlama-lama berhadapan dengannya, apalagi harus adu mulut dengannya. Aku capek! Rasanya hanya dia yang berusaha “baik” padaku, sedang aku…biasa saja. No chemistry! Walaupun hubungan kami sudah berjalan hampir tujuh bulan. Harusnya aku bisa lebih tegas.

Mungkin benar kata Rena, sahabatku. Kalau aku tak mencintainya, kenapa aku harus berpura-pura dan mau berjalan dengannya? Karena itu akan membuat rasa tak nyaman pada diriku sendiri. Sekarang aku baru kena batunya. Dan memang, semakin hari aku mengenalnya, semakin terlihat karakter aslinya. Terlalu protect dan senang membanggakan diri.

Aldi

Rasanya sudah nggak kuat untuk mengutarakannya. Tapi aku masih takut, bagaimana jika dia sudah punya kekasih atau bahkan mungkin sudah punya calon suami? Ah…aku musti berani, kalau aku tidak memulainya bagaimana aku bisa tahu? Lagian ditolak sudah menjadi resiko. Mending ditolak daripada aku penasaran seumur hidup. Dan juga aku tak berniat main-main. Aku serius !!!

Ela terlalu berharga untuk dipermainkan. Memang, usia kami terpaut beberapa tahun, aku lebih muda. Itu bukan halangan tapi tantangan. Kalau pun mungkin harus bersaing dengan lelaki yang kemarin kulihat di rumahnya, aku tidak takut. Aku yakin bisa membahagiakan Ela.

Besok hari pendek, akhir pekan. Mungkin timing yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku. Segala konsekuensinya akan aku tanggung. Aku ingin bersikap gentle, aku akan mengutarakannya langsung di depannya. Walau ada kemungkinan Ela akan menertawakannku. Masa bodoh! Lebih cepat, lebih baik bukan?

Ela

Besok hari Sabtu, Tio pasti datang. Dan rasanya aku sudah siap untuk mengakhiri semua. Aku harus berani jujur pada diriku, pada Tio juga Mama dan Papa. Aku merasa hubunganku dengan Tio hampa dan hambar. Bukan karena hadirnya Aldi, tapi jauh sebelumnya.

Aku tak ingin salah untuk kedua kalinya yang membuatku merasa tidak nyaman. Aku tak ingin mengorbankan hidupku. Mungkin Aldi hadir pada saat aku sudah tak mampu bertahan atas hubunganku dengan Tio. Di usianya yang jauh di bawahku, aku melihat kedewasaannya. Dia hadir seperti dikirim Tuhan untuk mengingatkanku (bukan pembelaan diri). Karena aku juga masih takut untuk mengatakan padanya bahwa ada perasaan nyaman saat berdekatan dengannya.

Semoga Tuhan menjawab semua do’a-ku. Semoga dia dikirim benar-benar untukku…






(hehehe…, terinspirasi oleh
kisah nyata beberapa teman. Salut!!!! :))

Tuesday, January 13, 2009

bahasa kalbu



Keringat di tengah penatnya siang
Mungkinlah biasa
Tapi berpeluh dikala dingin menggigil
Mungkinlah tak biasa

Riuhnya suara tetangga saat menonton termehek-mehek
Tak membuatnya berpaling ke acara kesayangannya itu
Ada satu... iya satu hal yang tak mungkin ditinggalkannya saat itu
Meskipun itu hal yang biasa terjadi
Dan mungkin hal itu masih akan terjadi lagi kelak

Mungkin kita pernah berkata besok saja
Atau nanti saja
Sesempatnya
Kan masih ada waktu
Atau kan nanti juga masih akan terjadi
Tapi tidak dengan ini
Tidak dengan satu hal ini

Apakah itu ???
Aku merasa terbiasa dengan hal itu
Aku juga pernah berada pada objeknya
Aku juga pernah merasa sebagai penderitanya
Jadi menurutku biasalah

Tapi tidak buat dia
Temanku, sahabatku sejak kecil
Yang menyapaku tadi
Dengan desah nafas khawatir dan kecapean

Katanya “si kecil sedang panas tinggi”
“Mungkin gejala malaria”
“Minta tolong ka dulu diantar ke dokter pake mobilmu na ???”
Lanjutnya dengan akses khas Makassarnya tanpa memberiku kesempatan menyela

Biasa saja kan ????
Penyakit yang memang sering terjadi
Penyakit yang bisa saja terjadi berkali pada anak keturunan Adam
Tapi apakah aku, anda, dan kita semua akan tega berkata
“besok saja, itu kan penyakit yang biasa terjadi”
Atau “Tenang saja, nanti penyakit itu juga akan sembuh dan terjadi lagi”
Atau “Sorry, saya lagi capek sekali sekarang”
Atau “santai saja, kan baru gejala, kalau belum ajal pasti nanti juga akan sembuh sendiri”

Aku tak tahu, apakah aku orang baik
Ataukah dia yang orang baik
Ataukah masalahnya yang membuat aku dan dia menjadi baik
Atau memang saat itu kita ditakdirkan menjadi baik

Aku pun tak sempat berpikir lagi
Langsung kuiyakan saja
Mungkin ini yang dimaksud bahasa kalbu
Mungkin ini karena hati dan kalbunya yang berbicara
Atau mungkin saja sesuatu yang aku sendiri masih sangat dangkal
Untuk sekedar mendefinisikannya

Akhirnya aku coba berlogika
Bagaimana ya seandainya orang itu tak kukenal sebelumnya
Atau tak seakrab sahabatku itu
Atau dia meminta sesuatu yang lebih dari kerelaanku pada umumnya
Tanda tanya ???
Dan bagiku itu tetap tanda tanya ???

Yang pernah kutahu bahwa ada hal yang kadang merasuki pikiran tak sadar kita
Sehingga kita menjadi sadar akan sesuatu
Terutama jika hal itu disampaikan dari kalbu
Mungkin itu yang dimaksud bahasa kalbu


Cerita ini aku tulis bukan sebagai non fiksi, ini sekedar menceritakan hal yang baru saja terjadi dan menguak alam pikiranku, yang masih sulit dan mungkin tak akan kupaksakan untuk mendefiniskan secara ilmiah, biarkan saja semua terjadi seperti adanya




(tulisan-nya si Bapak Boss nih...., nggak usah sbut nama ya? Ntar jd terkenal....tambah narziz deh :))

Sunday, January 11, 2009

nuansa bening




Embun pagi masih menghias rerumputan liar, tampak berkilau diterpa sinar sang surya. Kicau serombongan burung gereja yang hinggap di atap menambah semarak hari. Kuncup dan mekar warna warni bunga semakin menambah memukaunya sang waktu. Di kejauhan bukit menghijau menyegarakan pandangan. Langit biru yang menaungi semua pun tampak bersahabat (hehehe…pemandangan setiap pagi di rumah saya nih…).

Indah…

Kala kunikmati waktu dengan hati yang ringan. Kuhirup udara segar hingga memenuhi rongga dada, terhembus pelan diiringi senyum yang mengembang.

Terucap syukur….
“Terimakasih yang tak terhingga ya Tuhan, untuk semua nikmat yang ada. Tetaplah ada di setiap langkahku.”

Hmm.., terasa ingin kuajak semua menikmati hari indah ini.

Dan…
Sapa dirimu melengkapi indahnya sang waktu.
Jangan berhenti melangkah. Terus dan teruslah melangkah, melompat bahkan mungkin terbang dan menyambar. Sambutlah setiap waktu dengan segenap jiwamu. Ijinkan putaran waktu menilai dan menetapkan bagaimana kita.

Ingin kucandai, kumaknai, kulewati waktu dengan seluruh rasa.
Biarkan aku dan dirimu juga mungkin yang lain ikut merasakan aura indah ini.








munajat dalam duka




Dimana damai, ketika kulihat tubuh mungil itu roboh?
Dimana damai , kala kulihat tempat tinggal mereka luluh lantak?
Dimana damai, saat kulihat air mata mereka tak sempat mengering di wajah?

Sampai kapan keangkuhan itu tegak?
Sampai kapan kebiadaban itu ditebar?
Sampai kapan kesemena-menaan itu mengalir?

Tuhan-ku…,
Tegur mereka yang menganiaya saudara-saudara kami
Mungkin tangan kami tak sanggup membalasnya
Tapi… kuasa-Mu kami yakin mampu mebenamkan mereka
di panasnya tempat terpanas

Saudara-ku…,
Mungkin aku tak ada disana untuk membelamu
Tapi…do’aku selalu terpanjat untuk kedamaian di tempatmu
Teruslah bermunajat pada-Nya
Karena Dia tak buta
Dia Maha Melihat
Dia Maha Mendengar
dan…
Dia Maha Segalanya

Mungkin tak disini kau menemukan damai
Tapi ada tempat terdamai yang akan kau temui nanti
Dimana kau akan terus bisa tersenyum….




(galang perdamaian untuk Palestina)

akhirnya kumenemukan rasamu




(tulisan akhir tahun dari seorang teman, seorang sahabat.... Aslinya nih tulisan terinspirasi tulisan saya "rasa memang berkuasa"... hehehe...)


Langit malam yang bertabur bintang
Dihiasi ledakan petasan dan percikan kembang api di angkasa
Bersanding dengan anggunnya sang rembulan sabit
Berceloteh di malam yang biasanya bisu

Kuberdiri diantara ruang alam yang berangin
Kutatapi sekitarku dengan hati yang tersungging
Kulambungkan hayalanku setinggi-tingginya
Sedalam tarikan nafas yang menggugah keakuanku

Disini aku di 31 Desember 2008 pukul 21.04 WIT mencoba mengerat batang kayu jiwaku
Sekedar menunjukkan jejak bahwa aku pernah berada di waktu ini
Aku pernah merasa sesuatu di waktu ini
Waktu yang tidak akan terulang lagi
Sekali lagi waktu yang tak akan terulang lagi

Kupetik gitar butut punya temanku
Kucoba memainkan petikan gitar tanpa lagu
Sampai akhirnya gairahku tiba pada sebuah judul lagu
Akhirnya Kumenemukanmu (lagunya Naff)

Kumainkan dengan segenap kemampuanku
Dengan segenap penjiwaanku
Kuhadirkan seutuhnya keakuanku
Inilah aku dan segala harapanku

Kumenemukan sesuatu yang tak mungkin ditemukan orang lain
Kumemukan bingkai
Kumenemukan mahligai
Kumenemukan asa yang setiap saat mampu mengguncangku
Ketika dan setiap kali kumerasakannya

Tak terasa lagu ini membuatku merasa
Tergiring ke lubuk rasa terdalam yang pernah kumiliki sejak aku merasa sudah memiliki rasa
Rasa yang kurasakan anginpun dapat menerbangkanku
Ke satu, dua, tiga, dan banyak hati yang juga merasakan rasaku
Terkhusus ke satu hati yang rasanya adalah rasaku

Tak ada yang mampu kutafsirkan lewat inderaku
Siapakah aku ini yang akan mampu menerjemahkan rasa itu
Tidak..aku tidak mampu...
Hanya satu hal yang kutahu
Aku menemukanmu dalam rasaku
Dirimu yang tak pernah kusanjung dengan belaian bunga di telinga
Tak pernah kusapa dan kurangkul selayaknya saudara
Dan kutahu pasti itulah doa tulusku yang juga tak mampu kuiringi dengan tengadah tanganku


Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah, dan Selamat Tahun Baru 2009

Friday, January 2, 2009

met taun baru....

New Year Myspace Comments
MyNiceSpace.com

New Year Myspace Comments

SEMOGA SUKSES MENYERTAI KITA DI TAHUN 2009 INI!!!!!!!